Saturday, October 24, 2009

DALAM PENANTIAN

“Assalamu Alaikum”.Begitulah kebiasaan Ahmad memulai tegur sapa kepada sesama rekan-rekan di kantor tempat kerjanya. Kantor PPMI. Salah satu kantor pusat pemerinatahan Indonesia yang ada di luar negri(Mesir). Kebetulan kantor tersebut belum ber AC dan tidak ada kipas anginnya, ma’lum masih baru, karena itu Ahmad harus melepas bajunya sebagaimana rekan-rekan lainnya, karena udara yang sangat panas.

“Udah selesai Lukisannya”. Pertanyaan awal yang keluar dari Ahmad kepada rekan barunya Mahmud. Kebetulan keduanya menjadi salah satu panitia pelatihan”Karya Tulis Ilmiyah” bagian Dekorasi dan Dokumentasi. Di situ juga ada dua rekan lainnya, yaitu Murniati, cewek bercadar dan Maimunah.

“Setengah jam lagi”. Mahmud menjawab pertanyaan Ahmad sambil mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya seraya berkata”Ooh kamu yang namanya Ahmad”. Ahmadpun tersenyum sembil menganggukkan kepala. “Nanti kita tinggal gunting kok”. Mahmud melanjutkan pembicaraannya.

Selesailah pekerjaan Mahmud, tinggal langkah selanjutnya, yaitu menggunting lukisan yang udah jadi. Maunya mereka langsung mengerjakannya di kantor PPMI tersebut, namun Presiden PPMI tidak mengizinkan”Aku ingin kantor ini tetap terlihat rapi, apalagi di pagi hari” Kata bapak Presiden, kebetulan saat itu jam 8 pagi. Bapak Presiden memerintahkan mereka berdua untuk bekerja di kamar tempat tidurnya, kamar kecil yang panas dan tidak ber AC.

Jam 9 mereka memulai kerjanya, menggunting setiap lukisan sambil menunggu 2 rekan cewek mereka yang belum jelas kapan datangnya. “Ehm”. Mahmud berulah sambil ketawa entah dia mau apa, Ahmad cuek tak perduli, dia fokus terhadap kerjanya, ma’lum dia adalah anak yang rajin dan sangat bertannggung jawab. “ Aduuh panas nich”. Mahmud melanjutkan permainannya. Kayaknya dia lagi menyindir seseorang. Kebetulan di kamar itu ada tiga orang, Ahmad, Mahmud dan satu anak yang agak hitam. “Ni uang beli es dan camilan” salah satu teman tadi ngomong kearah Mahmud sambil tersenyum. “Mad ni bendahara kita Roni, kalau kamu perlu sesuatu minta kedia”. Mahmud berkata pada Ahmad sambil nyengir seraya memperkenalkan Bendahara tersebut. kebetulan Mahmud sudah kenal akrab ama dia.

Tiga jam mereka bekerja, tiba-tiba HP Mahmud berbunyi, tanda ada telpon masuk, Mahmudpun menerimanya. Kira-kira lima jam dia ngomong dengan rekannya dalam telpon, entah dia ngomongin apa, entah juga siapa rekannya tersebut. “Mad 2 rekan cewek udah datang”. Mahmud tersenyum mengabarkan kedatangan 2 rekan ceweknya.

“Brak” pintu kamar terbuka, kebetulan agak rusak. “Eh Ahmad, Mahmud kalian kerjanya pindah kelantai atas saja, di sini sempit 2 rekan kalian sudah datang” suara dari arah pintu kamar. Ternyata dia katua panitia pelatihan. Mereka akhirnya beres-beres memasukkan sampah-sampah kecil potongan kertas lukisam ke plastik kecil dan memasukkan alat-alat lukis ke plastik kecil lainnya menuju tempat yang ditunjuk ketua panitai mereka.

Sampailah keduanya ketempat tersebut. mereka meneruskan kerjanya sambil mengipaskan lengan baju mereka kebadannya karena kepanasan. “Tapi di sini masih mendingan dari pada kamar yang tadi kita tempati, gak ada anginnya sama sekali”. Ahmad memulai kesunyian. “Assalamu alaikum” suara kecil, lembut terdengar dari arah pintu. Ternyata dia adalah Maimunah, cewek yang suka ngomel namun giat bekerja. “Wa alaikum salam” mereka menjawab. Maimunah akhirnya dipersilahkan duduk oleh Mahmud. Dia duduk disebelahnya, agak jauh dari tempat Ahmad duduk. Maimunah juga langsung akrab sama Mahmud, kebetulan keduanya sama-sama dari padang, akhirnya nyambung. Sementara Ahmad sendiri hanya diam konsentrasi sama kerjanya. Dia emang tidak banyak bicara. Tiga menit kemudian mereka semua berkenalan, ngobrol sambil bekerja.

setengah jam kemudian Mahmud sama Ahmad istirahat dan memerintah Maimunah agar meneruskan kerjanya sebagai sangsi atas kerterlambatannya. Maimunah hanya tersenyum sambil ngomel “Kak aku pingin cepat pulang”. Kata inilah yang sering dia lontarkan di saat dia lagi bekerja. Ada mungkin seratus kali dia mengulanginya. “Assalamu alaikum” terdengar suara lagi di arah pintu, suara yang merdu lembut dan manis. Ternyata dia adalah Murniati, cewek bercadar yang ulet dan fokus dalam bekerja.

Akhirnya mereka semua berkenalan dan berpasang-pasangan. Maimunah sama Mahmud, Murniati sama Ahamad. Murniati adalah anak Kalimantan, namun pernah nyantri di salah satu pesantren di Madura, yaitu di Sumenep. Dia juga kelihatan sopan dan tak banyak bicara, berbeda dengan Maimunah.

Ahmad terus bekerja, dia merunduk seakan dia bekerja sendirian, dia seperti tidak merasakan kalau didekatnya ada Murniati. Murnniatipun juga begitu, dia diam sambil bekerja. Tak selang beberapa menit Ahmad memulai pembicaraan memperkenalkan dirinya.

‘Murniati kamu asli mana”, Ahmad bertanya. “Aku orang Kalimantan”, Murni menjawab. “Tapi aku pernah di Madura bahkan sering keliling Madura”, melanjutkan jawaban. “Ah kebetulan kalau gitu. Aku orang Madura”, Ahmad menimpali. Akhirnya keduanya jadi nyambung dan suasanapun Nampak rame. “Berarti kamu tahu Air Mata(salah satu tempat bersejarah di Madura), Saikhana Khalil(salah satu ulama’ terkenal di Madura?”, Murni bertanya. “Kalau kiyai Khalil aku tahu, kalau Air Matanya aku tidak tahu” begitulah Ahmad menjawab. Murni akhirnya ketawa agak ngeledek “Masak orang Madura gak tahu, aku lo orang jauh banyak sekali tahu daerah yang dimenati banyak orang, dasar”. Ahmad hanya diam tak menggubris Murni, entah dia merasa diledeki atau tidak, namun wajahnya Nampak biasa-biasa saja. “emang kamu gak pernah jalan2 ya?”, Murni melanjutkan pertanyaan. “Aku gak pernah jalan-jalan jauh kecuali ke Mesir”, begitulah Ahmad menjawab dengan kejujuran dan ketulusan.

Selesailah mereka bekerja, tinggal langkah selanjutnya, yaitu nempelin setiap lukisan ke bagroun lukisan, yaitu di hari berikutnya, hari Jum’at pas waktu acara pelatihan, kebetulan acaranya mau dimulai jam dua, jadinya lukisan rencananya mau ditempel jum’at pagi. “Nanti jam Sembilan kita kumpul di PPMI dan berangkat bareng ke Konsuler(tempat acara di daerah Madrasah”. Mahmud ngasih interuksi. Mereka akhirnya bubar dengan membawa pikirannya masing-masing. Ahmad terlihat lemas dia nampak capek, ma’lum seharian dia bekerja tanpa istirahat, dia turun dari lantai atas dengan lamban, kebetulan Murni ada pas di depannya berjalan agak lamban juga, ma’lum dia cewek yang rata-rata jalannya lamban. “Aduuh HP aku mana ya”, Murni berucap sendirian menoleh ke Arah Ahmad sambil memegang setiap saku tas mencari HPnya. “Mungkin ketinggalan di atas”, Ahmad bersimpati, entah karena ada tujuan atau atas nama kemanusiaan. “Kalau di atas biar aku yang ngambilan”, menawarkan perhatian. “Gak kak ini ada”. Murni diam di tempat di depan Kantor PPMI dia seperti menunggu seseorang. “Nungguin siapa Mur?”, Ahmad menyapanya kembali. “Ini ada temen mau pulang bareng, mbak aku”. Murni menjawab. Akhirnya kedua diam mematung, Ahmad menjadi salah tingkah dia tidak tahu apa dia harus pulang sendirian atau bareng Murni. Akhirnya dia memutuskan pulang sendirian, dia pulang tanpa-tanpa kata-kata terucap kembali ke Murni, dia hanya berjalan melanjutkan perjalanannya.

Tepat hari Jum’at jam Sembilan Ahmad sama Mahmud sudah ngumpul di PPMI, keduanya bergegas menuju tempat kerja yang kemarin, kebetulan semua lukisan masih ada ditempat tersebut, keduanya duduk santai sambil nunggu Murni sama Maimunah datang, mereka maunya masang lukisan secara bersama. Sepuluh menit kemudian Murni datang sendirian dia langsung duduk di sebelah Ahmad. “Siapa namanya kak, aku lupa”, Murni menghapus keheningan. “Ahmad aku Ahmad, kamu bisa manggil Mad atau siapa aja terserah kamu”, Ahmad menjawab. “Eh aku keluar dulu ya, mau ketemu ketua panitia”, Mahmud pamitan sama Ahmad. Akhirnya tinggal dua pasang yang ada di tempat tersebut, keduanya diam sambil nempelin setiap lukisan, kebetulan Murni bagian yang ngupas lukisan dan Ahmad yang menempelkan. “NI Mad tempelin” Murni mengulurkan tangannya ke Ahmad, Ahmadpun mengambilnya, akhirnya tangan mereka berdua bersentuhan. “Astagfirullah”, Ahmad bergumam reflek. “Kenapa Mad” Murni menimpali. “Gak pa2 kok”, Ahmad menjawab.

Semua berjalan bagai alur air, kini Ahmad sudah tidak gugup lagi, dia sudah berani memandang gaun cadar Murni, Murnipun juga begitu. Kini keduanya saling memandang, entah apa yang mereka rasakan, tak selang kemudian Ahmad menundukkan kepalanya, mungkin dia tidak kuat memandang ketajaman mata Murni, dia salah tingkah. “Mad kok dipasang di situ?, itu salah Mad”, Murni menegor keteledoran Ahmad, salah memasang letak tulisannya. “Astagfirullah, ia Mur, tugas kamu tu perbaiki”, Ahmad memerintah sambil tersenyum. “Dasar Ahmad” Murni bergumam. Murni orangnya emang ceplas ceplos, Ahmad hanya tersenyum dia seperti merasakan kedekatan dengan sikap Murni. “Ia maaf dech maaf”. Ahmad beralasan. “Mad sudah selesai”. Mahmud datang menyapa mereka berdua, merusak canda mesra dari keduanya. Sepuluh menit kemudia ketua panitia datang memerintahkan mereka semua berangkat ke KOnsuler merampungkan semua pekerjaannya di sana.

Merekapun berangkat. Di sana mereka menyelesaikan tugasnya. “Mad kamera digitalnya udah diminta ama Bapak Presiden”, ketua panitia bertanya. “Sudah, ni aku taruh di tas” ,Ahmad menjawab. Ya itulah salah satu tugas dari Ahmad. “Nanti kamu foto kita semua ya”, ketua melanjutkan perintahnya. “Ia pak” Ahmad menjawab dengan mantap

Tepat jam dua acara dimulai, mereka sudah kebagiannya masing-masing, para anggotapun datang satu-persatu. Ahmad sudah mulai memotret semua apa yang perlu dia potret, Mahmud duduk kelelahan, kerjanya sudah selesai, jadinya dia istirahat. Sementar Murni sama Maimunah membantu salah satu temannya di bagian penerima tamu, duduk dibangku regestrasi. Ahmad berjalan mengelilingi lokasi sambil motret, acarapun sudah dimulai, Ahmad juga sudah gak bisa ngomong-ngomong lagi sama Murni, karena dia sibuk dengan kerjanya, dia juga merasa gak enak ngomong ama cewek di depan kerumunan banyak orang.

Namun dibalik kesibukannya Ahmad menyempatkan diri memperhatikan Murni, dia memandangnya dari kejahuan, murnipun juga begitu. Ahmad jadi sedikit ke GRan dia merasa ada jawaban dari lubuk hatinya walaupun dengan bentuk yang masih belum jelas. Ahmad berjalan menghampiri temannya di depan pintu, dekat Murni duduk, dia berdiri sambil memotret pemateri dari kejahuan. “Mad aku pulang dulu, aku laper, nanti aku balik lagi”. Murni menyapa Ahmad, diapun terkejut. “Mau pulang? Silahkan” Ahmad menjawab memberi izin dengan gaya ketua panitia.

Setelah kepulangan Murni Ahmad nampak lemas, dia seperti kehilangan pijakan, dia duduk berhenti memotret, dia seperti orang yang kecapean, nafasnya terdengar kenceng. “Kenapa Mad”, Mahmud menyapanya, kebetulan dia duduk di sisi Mahmud. “Gak pa2 Mud”, Ahmad menjawab. “Punya nomernya Murni gak”, Ahmad bertanya dengan nada gugup. “Ada tapi aku gak punya pulsa”, Mahmud menjwab, Mahmud merasa kalau Ahmad menyuruhnya agar Murni di telpon. “Gak apa aku Cuma minta nomornya aja” Ahmad menjawab. Akhirnya dia mengasihkan nonya Murni ke Ahmad. Sepuluh menit kemudian Ahmad menelpon Murni. “Mur kamu lagi dimana, balik ya”, Ahmad ngomong di telpon. “Ni siapa ya, ia aku balik kok” Murni menjawab via telpon. “Aku Ahmad” Ahmad menjawab sambil mengahiri pembicaraannya.

Murni kini sudah datang ke lokasi dia nampak anggun sekali. “Gimana ya seandainya dia mau membuka cadarnya, sekali aja, untuk aku”, Ahmad bergumam dalam hati, dia sepertinya memang benar-benar suka sama Murni.

Acara sudah selesai, mereka semua sudah pulang, panitaipun juga sudah pulang. Tinggal Ahmad, dia masih dijalan, menunggu bus, lima menit kemudian bus datang, Ahmad pun bergegas menaikinya. Sampailah dia ke rumahnya.

Di rumah Ahmad ngelepas baju, menghidupkan kipas angin, dia memegang HP sambil tidur-tiduran, dia ngelihatan nomor Murniati terus menerus, sepertinya dia sudah kena racun cinta. Semua berjalan seadanya waktupun juga terus berjalan, mereka berdua saling sms satu sama lain, kadang Ahmad juga menelpon. sudah tujuh hari mereka berpisah.

“Tujuh hari aku mengenal mu, tujuh hari pula aku memikirkan mu, kini aku hanya bisa berbaring di tempat tidur memeluk HP mungilku. Ada rasa yang menderaku, menusuk disetiap lapisan hatiku. Rasa itu belum bisa ku pastikan sebagai cinta, karena aku baru mengenal mu, aku juga belum tahu wajahmu, tapi rasa itu memang ada dan menyiksa. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah ini, namun maafin aku harus jujur pada mu. Aku mohon tidak ada orang yang tahu dari sms ini walaupun orang terdekat mu”, terkirim sms Ahmad kepada Murni.

Demikian Ahmad mengungkapkan perasaannya kepada Murni. Ahmad punya pandangan dalam bercinta, dia menganggap bahwa setiap perasaan harus cepat diungkapkan, apalagi perasaan cinta, dia menganggap bahwa menahan cinta berarti meracuni diri agar mati perlahan-lahan, karena itu dia cepat-cepat mengungkapkan perasaannya, dengan waktu yang agak singkat.

Kini Ahmad berbaring lemas dekat HPnya menuggu jawaban datang dari Murni, Murnipun juga tak cepat-cepat member jawaban, entah apa yang dia pikirkan. “Apa dia mau ke aku?” itulah kata Tanya yang sering keluar dari mulut Ahmad, dan………………..bersambung……..?

No comments:

Post a Comment