Saturday, October 24, 2009

Peran Abi Hanifah Dalam Teologi Al-Maturidy

Al-Maturidiyah adalah salah satu dari sekte islam yang didirikan oleh Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang masyhur dengan panggilan Abu Manshur al-Maturidi, nisbat pada tempat kelahirannya, yaitu maturid, yang masih termasuk daerah Samarqondi. Sekte ini disebut sekte yang mayoritas, karena komunitasnya yang banyak dibanding komunitas sekte lainnya. Abu Mu’in al-Nasafy menyebutkan bahwa mahzhabnya al-Maturidi tersebar di daerah Bukhara sampai ke Turki, beliau juga menyebutkan bahwa mahzab al-Maturidi tersebut kebanyakan digandrongi oleh para sufi, bahkan salah satu ulama’ kontemporer, Ahmad Abduh membangun pemikirannya yang baru berdasarkan mahdzab al-Maturidy tersebut. makdonal mengatakan: “Ulama’ yang mengakui dirinya Asy’ariyah sebenarnya bermahzab Maturidiyah”. Perkataan Makdonal tersebut diiakan oleh para ulama’ Mesir setelah mereka membandingkan antara pendapat Muhammad Abduh dan al-Maturidi tersebut.

Sekte ini juga disebut sekte Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, karena pemikirannya yang moderat yang lebih mendekati manhaj yang dibawa oleh ulama’ Salaf. Maka karna itu bila kata Ahli Sunnah Wal Jama’ah disebutkan maka yang dimaksud adalah Asy’ariyah atau al-Maturidiyah.
Profil Pendiri Al-Maturidy

Beliau adalah Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang Masyhur dengan Abi Manshur al-Maturidi. Beliau lahir di Maturid, salah satu daerah yang masih termasuk bagian dari Samarqondi. Adapun mengenahi tanggal atau tahun kelahiran beliau, belum ada kejelasan yang pasti, tetapi secara dhohir beliau lahir sekitar pertengahan abad ke tiga, semasa dengan Abu Hasan al-Asy’ari, dimana sekte Mu’tazilah pada saat itu sedang mendapat perilaku yang tidak baik dari masyarakat sebagai balasan ketidak sewenang-wenangannya terhadap para ulama’ hadis dan fikih dimasa sebelumnya.
Beliau belajar fiqihnya imam Hanafi dan Ilmu kalam pada imam Nashruddin Bin Yahya al-Balkhy yang meninggal pada tahun dua ratus enam puluh delapan(268). Beliau al-Maturidi wafat pada tahun 333.

Beliau juga lahir dilingkungan akademisi. Daerah beliau semarak dengan aktivitas-aktivitas keilmuan, seperti perdebatan seputar Fiqih dan Usul Fiqih yang terjadi antara Mahzab Syafi’ie dengan mahzab Hanafi. Disana juga terdapat perdebatan seputar Ilmu Kalam, akibat ketegangan yang terjadi antara Fuqaha’ Muhaddis dan Mu’tazilah. Bahkan diceritakan bahwa kemajuan daerah beliau itu bukan karena ekonominya atau kekuatan militernya, tetapi karena prestasi keilmuan yang diraihnya pada saat itu, yang diprakarsai oleh para pemikir-pemikir ulung, termasuk beliau sendiri. Diceritakan bahwa konon beliau sering menghadiri perdebatan di Bashrah seputar ilmu kalam, bahkan diceritakan sampai sebanyak dua puluh kali. Dari sisi mahzab, beliau bermahzab Hanafi, yaitu satu-satunya mahzab yang nantinya banyak mempengaruhi alur pemikirannya, terutama dalam masalah ilmu kalam.
Alur Pemikiran Abi Manshur al-Maturidy

Islam telah memasuki Negara Hurasan dan Paris dan menguasai setiap tempat di Iraq. Banyak sekali pembesar-besar Negara-negara tersebut yang tertangkap, kemudian dijadikan budak. Zuthai adalah salah satu pembesar tersebut. beliau dari Paris kemudian beliau dimerdekakan dan mendapat hidayah untuk memeluk Agama Islam. Beliau pernah bertemu dengan Imam Ali RA, bahkan ngumpul lama dengannya, antara keduanya terdapat ikatan persaudaraan yang kuat, terbukti dengan hadiah yang pernah diberikan Imam Ali pada beliau. beliau kemudian mempunyai seorang anak bernama Tsabit, anaknya tersebut juga dekat dengan Imam Ali sama seperti beliau, bahkan Imam Ali pernah mendoakan Tsabit tersebut agar semua keturunannya mendapat berkah dari Allah. Maka lahirlah Nu’man putra Tsabit.

Nu’man adalah orang Faqih di masanya, sampai beliau dapat Nobel dari para ulama’ di masanya “Faqihul Islam”, imam Syafi’ie berkata “Semua manusia dalam Fiqh berhutang budi sama Abi Hanifah”. Beliau lebih terkenal dengan Abi Hanifah, sebagai Alam Kuniyah beliau. Beliau dilahirkan tahun 80 H dan meninggal tahun 150 H, tahun kelahiran Imam Syafi’ie. Irak tempat lahir beliau merupakan tempat peradaban semua agama. disitu juga banyak sekte-sekte islam, seperti Hawarij, Syi’ah DLL, disitu juga tempat singgah para sahabat, seperi Imam Ali, Abdullah Bin Mas’ud namun beliau tidak menututi mereka, tapi beliau menututi Imam Sufyan al-Tsauri, karena itu beliau masih termasuk Tabi’in. Beliau adalah pendiri mahdzab Hanafy.

Terkait Ilmu kalam Ulama’ ada yang pro ada juga yang kontra, mereka yang kontra sangat membenci Ilmu Kalam, karena ilmu tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Terkait dengan Abi Hanifah sendiri dalam Ilmu Kalam, ada dua posisi, pertama. Diawal-awal menuntut ilmu, beliau mempelajari ilmu kalam, hingga mahir membedanginya. Beliau juga banyak berdialok dengan sekte-sekte islam di masanya, seperti Hawarij Mu’tazilah dan Syi’ah. Beliau pernah berkata: “Semuga Allah membunuh Shafwan Bin Jahm dan Muqatal Bin Sulaiman, dikarenakan keterlaluan menafikan sifat Allah(Shafwan Bin Jahm), dan menetapkan sifat Allah, sampai pada pentajsiman(Muqatil)”. Perkataan beliau ini adalah bukti posisi beliau dalam ilmu kalam. Kedua, beliau sangat menentang keberadaan Ilmu kalam, bahkan sampai melarang untuk mempelajarinya. Beliau berkata:

“Aku menganggap Ilmu Kalam sebagai ilmu yang paling utama, kemudian aku berfikir dan merenung, dan aku berkata bahwa orang-orang dahulu dari para Sahabat dan Tabi’in lebih tahu dan paham dari pada aku, tapi mereka tidak bertentangan juga tidak berdebat, bahkan tidak mau berbaur dengan Mujadil, mereka duduk belajar dan mengajar. Setelah aku tahu ihwal mereka, maka aku katakan bahwa aku akan meninggalkan perdebatan dan kembali mengikuti mereka, ulama’ salaf, mengikuti semua tuntunannya. Dan sekarang aku berpandangan bahwa orang yang berdebat sepeutar ilmu kalam bukan termasuk dari bagian orang-orang terdahulu dan tidak mengikuti tahariqah ulama’ dahulu. Aku melihat mereka Mujadil termasuk orang yang hatinya keras, tidak perduli bahwasanya mereka telah menyalahi al-Qur’an, dan Sunnah dan tidak termasuk orang yang takwa”.

Ada banyak risalah-risalah kecil yang telah dinisbatkan para ulama’ sebagai karangan Abi Hanifah dalam maudu’ Ilmu Kalam, seperti Fiqhul Absath, Fiqhul Akbar Al-Alim Wal Muta’allim dan Risalah beliau pada al-Batta. Imam Ibnu Nadim menyebutkan bahwa ada empat kitab yang sah dinisbatkan sebagai karangan Abi Hanifah. Fiqhul Akbar, Al-Alim Wal Muta’allim, Risalah beliau pada Al-Batta dan Al-Raddu ala al-Qadariyah.
Al-Fiqhul Akbar/Absath

Kitab ini sangat diminati ulama’-ulama’ setelah beliau, kitab ini juga diriwayatkan banyak orang yang antaranya adalah Hammad anak Abi Hanafah sendiri, disyarahi oleh Ali al-Qary. Kitab ini juga diriwayatkan oleh Abi Muthi’ al-balkhy yang ma’ruf dengan Fiqhul Absath, kemudian disyarahi oleh Abu al-Laits al-Samarqandy. Syarah-syarah kitab Fiqhhul Absath ini ada yang dinisbatakan pada beliau Abi Hanifah, tapi tidak dibenarkan. Terkait dengan penisbatan kitab ini pada Abi hanifah Abu Zahrah berkata: “Fiqhul Akbar ini perlu ditunjau kembali kalau harus dinisbatakan pada Abi Hanifah”. Bahkan orang yang sangat fanatik terhadap beliau juga tidak mengesahkan kitab diatas kalau harus dinisbatkan pada beliau.

Risalah-risalah diatas walaupun ada sebagian yang masih disangsikan penisbatannya pada Abi Hanifah merupakan bukti bahwa beliau pernah sibuk mempelajari Ilmu Kalam tersebut, dan risalah-risalah ini jugalah yang mempengaruhi pemikiran Abi Manshur al-Maturidy, bahkan sebagian ulama’ mengatakan bahwa pendapat Abi Hanafah adalah dasar awal berdirinya mahdzab al-maturidy.

Risalah-risalah di atas beliau riwayatkan melaluhi para gurunya seperti Nashiruddin Bin Yahya Al-Balkhy, Abi Nashir Ahmad Bin Abbas dan Ahmad Bin Ishak al-Jurjani, yang semuanya meriwayatkan dari Abi Sulaiman Musa al-Jurjani Murid Muhammad Bin Hasan al-Syaibany dari Abi Hanifah. Maka Nampak jelas alur pemikiran al-Maturidy tersebut, hingga bisa dikatakan bahwa beliau adalah Abi Hanifah kedua setelah Abi Hanifah, dan tidak sah pula pemetaan yang dilakukan sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa beliau dalam sisi Fiqih memang terpengaruh Abi Hanifah namun dari sisi teologi beliau lebih mendekati Al-Asy’ari atau Hambali, bedasarkan risalah-risalah di atas.

Qadiyah-Qadiyah yang dicetuskan oleh Abu Hanifah juga dapat mewakili pengesahan alur pemikiran pemikiran al-Maturidy, seperti dalam konsep Iman, Penilai Kebaikan dan kejelekan. Keduanya sepakat bahwa Iman itu tidak bertambah dan tidak bisa mengurang, kebaikan dan kejelekan mungkin untuk diketahui dengan akal, dan masih banyak yang lainnya.
Manhaj Yang Dipakai al-Maturdy

Bersandarkan akal dalam berfikir merupakan perkara yang dianjurkan oleh agama, terutama dalam masalah Aqidah dan yang berhubungan dengannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mengiakan penganjuran tersebut bahkan sampai empat puluh Sembilan ayat. Al’-qur’an juga sangat mengecam orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya, sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 179. Dari sinilah manhaj al-Maturidy terlahir. Beliau mengatakan bahwa kewajiban ma’rifat pada Allah mungkin untuk diketahui dengan akal, sebagaimana yang telah Allah sendiri perintahkan agar kita berfikir tentang cipataanNYA, beliau juga mengatakan bahwa menafikan akal berarti tidak mengindahkan perintah Allah,”Berfikir”. Namun walaupun akal lebih punya peran dominan dalam mahzab beliau, beliau tetap akan tunduk terhadap kebedradaan Naql bila antara keduanya saling bertentangan. Beliau berkata Naql dan akal adalah dua sumber dalil yang tidak boleh dipisahkan satu sama yang lain. disinilah letak perbedaan mahzab beliau dengan Mu’tazilah. Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya Tarikhul Madzahib al-Islamiyah bahwa pemikiran al-Maturidy lebih mendekati pemikiran Mu’tazilah, sama dengan yang dikatakan Imam al-Kautsari “Asya’irah ada diantar Mu’tazilah dan Muhadditsin, sedangakan al-Maturidiyah ada diantara Mu’tazilah dan Asy’irah”. Perkataan ini jugalah yang melemahkan bahwa pemikiran beliau sealur dengan pemikiran al-Asy’ary walaupun banyak sekali kesamaan qadiyah-qadiyah yang dicetuskan oleh keduanya.
Antara Al-Matridy, Asy’ari Dan Mu’tazilah

Akal yang lebih dominan dalam manhaj al-Maturidy, namun masih tunduk pada Naql, berbeda dengan Mu’tazilah yang menafikan Naql ketika keduanya bertentangan, kebalikan al-Asy’ari yang lebih mengunggulkan Naql walaupun tidak menafikan akal. Perbedaan manhaj ini berimbas pada perbedaan sebagian qadiyah-qadiyah ushuliyah yang dicetuskan mereka yang nanti akan penulis sebutkan sebagiannya saja. Ada sebagian ulama’ yang menyebutkan bahwa perbadeaan yang terjadi antara al-Maturdy dan Asy’ari berkisar antara sepuluh masalah.
Ma’rifat Pada Allah

Al-Maturidy mengatakan bahwa kewajban ma’rifat pada Allah mungkin untuk diketahui dengan akal, namun beliau tidak mengatakan bahwa wajibnya ma’rifat tersebut adalah dengan akal, karena wajib menurut beliau adalah hukum taklifi yang menjadi otoritas sang pencipta(Syare’), senada dengan yang dikatakan Mu’tazilah, bedanya adalah pememegang otoritas. Mu’tazilah mengatakan bahwa yang memngang otoritas adalah akal sementara al-Maturidy adalah syare’. Sementara al-Asy’ary mengatakan bahwa Ma’rifat tersebut hanya menjadi otoritas syare’.
Penilai Kebaikan Dan Kejelekan

Sekte Mu’tazilah mengatakan bahwa penilai kebaikan dan keburukan adalah akal. Dikarenakan dalam setiap sesuatu terdapat unsur kebaikan dan kejelekan secara dzaty. Konsekwensi dari pemikarannya tersebut mereka mengatakan bahwa Ahli Fathrah(orang yang hidup dalam priode penantian datangnya seorang utusan)kelak akan disiksa atas segala amal baiknya dan dikasih pahala atas segala kebaiikannya. Senada dengan apa yang diungkapakan al-Maturudy, hanya bedanya beliau tetap akan patuh dengan Naql ketika akal beliau menyalahi keberadaan Naql tersebut, konsekwensinya Ahli Fathrah di atas kelak tidak akan disiksa, dan urusannya hanya sama Allah. Sementara al-Asy’ari mengatakan bahwa hak penilai kebaikan hanya otoritas Syare’. Kebaikan adalah kebaikan yang dilegalkan Syare’, begitu juga kejelekan, bukan yang dilegalkan akal.
Pekerjaan Allah

Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah mengerjakan sesuatu bukan karena dilatar belakangi motivasi atau tujuan, karena Allah adalah dzat yang tidak bisa ditanya akan apa yang ia kerjakan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa setiap pekerjaan Allah pasti dilatar belakangi motivasi dan tujuan, karena Allah adalah dzat yang bijaksana, yang mana tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tiada guna, karena itu Allah wajib untuk berbuat baik pada manusia. Sama dengan yang dikatakan al-Maturdy, hanya bedanya beliau tidak mewajibkan Allah untuk berbuat baik. Dan masih banyak perbedaan-perbedaan lain yang terjadi antara tiga sekte di atas, seperti masalah Iman, pendosa besar DLL.

Dan bila kita mau meneliti setiap pendapat al-Maturdi maka anda akan menemukan keserasian pendapat beliau dengan Imam Abu Hanifah, karena itu beliau pantas menyandang gelar “Abu Hanifah kedua setelah Abi Hanifah”. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Referensi:
1. Sa’id Ramadhan al-Buty, Al-Madzahib al-Tauhidiyah
2. Abu Zahrah. Tarihul Madzahib al-Islamiyah
3. Duktur Abudul Fattah al-Magraby, Al-Firaq al-Kalamiyah al-Islamiyah Madkhal wa Dirasah

Kitab Salafiyah Wahhabiayh

Mungkin sering terbenak dalam pikiran kita rasa penasaran akan esensi pemikiran sekte Salafi, yaitu wujud pertama dari sekte Wahhabi. Apakah mereka memang benar-benar Salafi yang pemikirannya salaf, sehingga masuk dalam kategori Ahli Sunnah Wal Jama’ah? atau hanya sebuah aliran yang mengusung pemikiran tertentu?.

Kitab inilah yang akan menjawab unek-unek dalam benak anda, yaitu kitab yang dikarang Syeh Hasan bin Ali al-Siqaf, yang tebalnya kira-kira 158 lembar. Kitab ini cukup bagi kita untuk mengetahui siapa itu Salafi atau Wahhabi yang sebenarnya, karna kitab ini mengungkap semua pemikiran sekte tersebut dan tindak tanduknya. Kitab ini timbul dari hasil penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan.

Bagian-bagian terpenting dalam kitab Salafiyah al-Wahhabiyah


Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Wahhabiyah adalah Salafi itu sendiri, yang pemikirannya adalah pemikiran baku, turun temurun dari bapak mereka, yaitu imam Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, kemudian diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahhab.
Dalam kitab ini juga dijelaskan bahwa Wahhabi atau Salafi adalah adalah satu-satunya sekte yang menganggap pemikirannya paling benar, sehingga pemikut sekte ini melirik sebelah mata pemikiran aliran sekte lain, bahkan pemikiran sekte lain yang menyalahi pemikiran mereka dianggap bid’ah dan macam-macam tuduhan yang lain.

Dalam kitab ini juga dijelaskan bahwa mereka punya banyak cara dalam menyebarkan pemikirannya, seperti mendirikan majlis ta’lim yang mereka aplikasikan dengan membangun, Masjid, Madrasah yang mana nanti system pengajarannya memakai kurikulum yang murni pemikiran ala mereka.

Dan diantara model penyebaran pemikiran mereka adalah menyiwa orang untuk menta’liq atau menyarahi kitab-kitab turats dengan memberi batasan pena’liq dan penyarah hanya pada pemikiran mereka, hingga ada sebagian penaklik atau penyarah yang sampai mengubah teks judul sebagian kitab yang dita'liq atau disyarah tersebut, seperti kitab al-Adzkar dalam bab Ziyaratu al-Qubur yang mereka ganti dengan bab Ziyaratu Masjidi al-Haram, hal ini dikarnakan mereka termotivasi dengan hukum akan tidak bolehnya Ziyarat Kubur yang dicetuskan oleh sebagian imam-imam mereka.

Dalam kitab ini juga dijelaskan bahwa mereka banyak mendirikanperpustakaan yang di dalamnya hanya berisi kitab-kitab pemikiran mereka, atau mendirikan percetakakan di berbagai lapisan Negara yang mereka batasi dengan karangan-karangan baru yang mendukung pemikiran mereka. Sementara bila ada penulis yang mengajukan karangan dengan pemikiran yang berlawanan mereka tidak untuk menerimanya.

Di antara lagi model penyebaran pemikiran mereka adalah mendirikan jam’iyah-jamiyah yang terbentuk dalam kajian ke agamaan atau partai politik dan Partai Keadilan Sejahtera(PKS) yang sekarang berada di negri kita, Indonesia.

No comments:

Post a Comment